WOW Homestay Jogja


WOW Homestay Jogja.

Mari datang ke Jogja!!! WOW Homestay Jogja


Mari datang ke Jogja!!

Kunjungi Homestay yang asri, nyaman & tentunya dengan harga terjangkau..

WOW Homestay Jogja

WOW Homestay Jogja

 

Selamat berlibur 🙂

Sepenggal Cerita Manis di Tanjung Lesung


Seklumit surga dalam hamparan pantai yang cantik terbentang memukau di ujung barat pulau Jawa. Pantai Tanjung Lesung, terletak di kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Tanjung Lesung dikembangkan menjadi salah satu kawasan wisata pantai exclusive yang nantinya akan mengarah menjadi Kawasan Ekonomi Khusus di bidang wisata pantai di Indonesia. Membutuhkan waktu +/- 3 sampai 4 jam untuk mencapai Tanjung Lesung dari ibukota Jakarta menggunakan jalan darat. Menurut informasi, untuk ke depannya di wilayah ini akan dibangun bandara. Tanjung Lesung merupakan salah satu tujuan wisata pantai yang sangat layak untuk dikunjungi dan sudah terkenal baik di kawasan domestik maupun mancanegara.

Akses jalan menuju Tanjung Lesung relatif sangat mudah. Ada dua jalur sebagai akses utama dengan menggunakan kendaraan roda empat. Dari Jakarta kita menuju Tol Jakarta – Merak, untuk akses yang pertama kita bisa keluar Tol Serang Timur menuju kota Pandeglang, lalu mengarah ke desa Panimbang dan berakhir di Pantai Tanjung Lesung, sedangkan akses yang kedua kita bisa keluar dari Tol Cilegon menuju Pantai Anyer dan Pantai Carita lalu mengarah ke  Desa Panimbang dan berakhir di Tanjung Lesung. Banyak petunjuk arah yang  bisa kita temui di sepanjang jalan akses utama menuju Tanjung Lesung jadi jangan khawatir bahwa kita akan tersesat. Jalan dari kedua akses utama tersebut sudah beraspal relatif mulus dan lancar, jalur komunikasi juga bagus hanya saja jika kita mengambil akses jalan yang pertama akan menghemat waktu lebih cepat.

Jika kita merencanakan berlibur ke Tanjung Lesung, kita harus sudah siap dengan biaya yang sedikit mahal kalau kita memutuskan untuk menginap di hotel mewah, karena Tanjung Lesung sudah menjadi salah satu kawasan exclusive wisata pantai. Kawasan Pantai Tanjung Lesung yang di buka untuk umum adalah Beach Club dan Pantai Bodur. Selain kedua pantai tersebut, kawasan Pantai Tanjung Lesung sudah dikelola dengan baik oleh pihak swasta yang juga menawarkan hotel mewah dan berkelas untuk memanjakan setiap tamu mereka. Tetapi jangan khawatir, bagi anda yang tidak ingin menginap di hotel mewah, sebelum memasuki Gerbang Utama Kawasan Wisata Pantai Tanjung Lesung, banyak sekali homestay yang dikelola warga setempat. Rata-rata mereka sudah mampu menyediakan fasilitas homestay yang bersih dan nyaman bagi para wisatawan. Pemerintah daerah pun berupaya serius untuk memperhatikan usaha warganya yang mengelola homestay. Pemerintah daerah memberikan pelatihan internal semacam seminar dan workshop dalam rangka meningkatkan pengetahuan warganya untuk memberikan pelayanan homestay yang baik bagi para wisatawan. Menurut pengakuan Pak Agus, salah satu warga yang juga merupakan pemilik Adam Homestay di Tanjung Lesung, bahkan pemerintah daerah sampai memberikan fasilitas untuk study banding ke Sleman Yogyakarta selama 3 hari 2 malam untuk mempelajari bagaimana cara mengelola homestay dengan baik. Mereka pun harus menginap di Homestay saat di Yogyakarta

Kala itu akhir Januari, dimana saya dan suami memutuskan berlibur di Tanjung Lesung pada saat akhir pekan, sekaligus bertepatan untuk merayakan hari pernikahan kami yang ke-4. Kami memilih Tanjung Lesung karena tidak terlalu jauh dari Jakarta dan tentunya keindahan pantainya yang selalu kami lihat dan baca di internet serta di media massa. Sesampainya di Tanjung Lesung kami memilih untuk menginap di Homestay yang memiliki halaman parkir luas untuk mobil kami. Segera kami menuju Beach Club untuk menyaksikan keelokkan Pantai Tanjung Lesung dengan pasir putihnya yang terkenal dan juga kejernihan pantainya. Diperlukan biaya registrasi dan parkir kendaraan saat memasuki kawasan Beach Club. Berbagai macam aktivitas pantai ditawarkan disini, mulai dari banana boat, jet sky bahkan tour ke Taman Nasional Ujung Kulon menggunakan boat secara rombongan. Tentu ada biaya tambahan yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut. Disitu juga tersedia kedai yang menawarkan kuliner khas laut seperti seafood goreng dan bakar juga kelapa muda yang segar. Beach Club terintegrasi langsung dengan Tanjung Lesung Beach Resort, jika kita adalah tamu dari hotel tersebut, maka tidak ada biaya registrasi untuk memasuki kawasan Beach Club. Setelah puas memandang keindahan Pantai Tanjung Lesung dan juga melakukan aktivitas pantai, kami tidak mau ketinggalan untuk mengabadikan senja yang indah di hamparan pantai sepanjang Tanjung Lesung.

Tak jauh dari homestay tempat kami menginap, kami menemukan hamparan pantai nan cantik yang dihiasi keramba milik para nelayan. Pantai sendu di senja hari dihiasi dengan kemilau lembayung jingga bergelayut mesra seolah menyerupai lukisan milik Sang Maha Agung memukau mata kami saat itu. Tak bosan – bosannya kami memandang hamparan pantai yang tenang dengan lembayung senja hingga hari beranjak malam.

Memilih menginap di homestay memiliki keuntungannya sendiri. Kami bisa mengobrol hingga larut malam dengan pemilik homestay ditemani dengan secangkir kopi dan kacang goreng di teras rumah dengan santai dan penuh rasa kekeluargaan. Bagaimana mereka menceritakan bahwa keadaan di Tanjung Lesung berubah sangat cepat dalam kurun waktu terakhir ini. ‘Kurang lebih 10 tahun yang lalu jalan di depan homestay sangat buruk Teh, bahkan tamu kapok untuk kembali lag’i. ‘Oh iya Teh, banyak tamu mancanegara berkunjung disini. Rata-rata orang Bule nginep nya lama-lama Teh kalau di Homestay, bisa semingguan gitu. Bahkan beberapa tahun yang lalu banyak orang Korea dan Jepang datang ke sini, karena mereka punya program kerjasama paket Honeymoon dengan orang – orang di resort sana’.

Tutur cerita yang mereka bagikan menambah semakin menyempurnakan liburan kami yang menyatu bersama keindahan alam dan keramah – tamahan penduduk lokal. Mereka semakin sadar, bahwa mereka wajib memberikan pelayanan terbaik bagi tamu homestay supaya informasi mengenai homestay mereka semakin cepat tersebar.

Pagi hari di Tanjung Lesung, udara sejuk menyapa kami disertai aroma basah air hujan segar yang turun semalam menuntun kami ke sebuah dermaga di pinggir pantai dekat dengan homestay kami. Saat itu pukul 05.30 WIB, banyak nelayan yang sudah menyiapkan perahu mereka untuk mengambil ikan di keramba. Mereka memasang perangkap seperti keramba yang mereka sebut serok. Mereka membuat serok di tengah laut yang jaraknya tidak jauh dari bibir pantai. Serok semacam alat tangkap tradisional yang mereka pergunakan untuk menangkap ikan. Mungkin istilah tepatnya adalah jebakan ikan. Serok dibangun menggunakan bambu-bambu yang ditancapkan di tengah laut yang digunakan untuk mengikat ujung – ujung jala yang ditebarkan begitu saja selama sehari penuh, saat pagi datang para nelayan akan menegok serok mereka untuk melihat ikan-ikan yang masuk pada perangkap jala.

Nelayan di Tanjung Lesung mengandalkan alam dalam mata pencaharian mereka. Saat musim ombak laut kecil, mereka tahu benar bahwa tidak banyak ikan yang datang ke serok mereka, Tetapi saat musim ombak laut besar, maka penuh sukacita mereka menangkap hasil ikan-ikan yang terjebak di serok mereka. Tetapi mereka juga siap dengan konsekwensi terburuk bahwa serok merekapun hanyut terbawa ombak laut. Setiap nelayan rata-rata memiliki 2 atau 3 serok.

Di dermaga kami berkenalan dengan Pak Barak. Dia seorang nelayan berasal dari Bugis yang  merantau di Tanjung Lesung. Pak Barak sangat ramah, dia menceritakan bahwa sebagian besar nelayan di Tanjung Lesung adalah perantau dari Bugis. Istrinya orang Sunda asli dari Tanjung Lesung. Kami mendapatkan kesempatan melaut bersama Pak Barak untuk mengambil hasil serok-nya. Perahu Pak Barak hampir sama dengan perahu-perahu nelayan lain disini. Kokoh dan terlihat kuat. Pak Barak bercerita, dia membeli seharga 20 juta untuk satu perahu ini, bukan harga yang bersahabat untuk dia. Tetapi harga tersebut dapat lunas saat musim ikan datang. Pagi itu Pak Barak ditemani saudaranya dan kami, menaiki perahu menuju serok mereka. Kira-kira  pukul 06.15 WIB kami berlayar. Pak Barak memiliki 3 serok. Saat Pak Barak mulai menghidupkan mesin perahunya, perlahan-lahan perahu meninggalkan bibir pantai dan menuju ke tengah laut. Udara laut pagi itu sangat bersahabat, banyak burung camar berterbangan dengan bebas tanpa rasa takut di sekitar kami, banyak pula perahu para nelayan lain yang lalu lalang menghampiri serok-serok mereka. Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa bisa mengenal lebih dekat dengan para nelayan di sini.

‘Kalau musim sekarang mah kita nggak punya ikan banyak Neng’, ujar Pak Barak saat menghampiri serok pertamanya. Setelah mengkaitkan tali perahunya dengan bambu yang kuat di ujung serok, dia mulai membersihkan jala dari kotoran yang tidak diinginkan seperti daun – daun kering. Setelah itu dibantu saudaranya, mereka mengangkat jala dan berharap ada ikan yang terperangkap disana. Benar saja, saat mereka mengangkat jala mereka, hanya beberapa ikan dan udang saja yang mereka dapatkan. Begitupun saat mereka mereka mengunjungi serok yang kedua dan ketiga, tidak banyak hasil tangkapan ikan dan udang mereka. Hal menarik yang perlu dijadikan contoh disini bahwa mereka tidak mengeluh dan meratapi nasib mereka, karena mereka percaya pada musim depan mereka akan mendapatkan hasil tangkapan yang luar biasa.

‘Sudah biasa Neng kalo musim begini, bahkan waktu tahun baru lalu kasihan kami sama para tamu, persediaan ikan kami tidak banyak, sedangkan tamu membludak, kami kekurangan ikan, sehingga terpaksa kami cari dari desa sebelah’. ‘Walaupun pagi ini kami hanya dapat segini, tetap saja Neng, nanti ini kami harus jual ke Bos, bagaimanapun kami juga perlu cari makan’, ujar Pak Barak lebih lanjut. Tidak sampai 1 jam, kami sudah kembali lagi ke bibir pantai, kali ini kami membeli udang tangkapan hasil Pak Barak walaupun hanya 18 ekor saja. Udang-udang tangkapan Pak Barak tersebut langsung kami masak di homestay. Udang segar dengan bumbu minimalis menghasilkan rasa yang luar biasa enak jika dibandingkan dengan udang yang sudah diawetkan dengan frezzer seperti yang biasa kita temukan di swalayan.

Pak Barak adalah potret nyata dari kehidupan nelayan di Tanjung Lesung, yang selalu hidup sederhana, mengandalkan hidup pada alam dan selalu bersyukur pada keadaan apapun. Satu hal yang dimiliki Pak Barak, dia selalu dapat menikmati dengan bebas harmobi keindahan alam yang dititipkan Tuhan di ujung barat pulau Jawa. Tanjung Lesung selalu punya cerita indah.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Phang Nga Bay ~ Thailand


Tidak ada berkat yang paling indah selain rasa syukur atas kehidupan yang Tuhan anugerahkan bagi kita. Sebelumnya kami tidak pernah mendengar nama Phang Nga Bay. Sebuah anugerah kami bisa melihat & menikmati langsung sebuah teluk yang begitu indah di pesisir selatan Thailand dekat dengan Phuket. Phang Nga Bay begitu menakjubkan, batu-batu menyerupai bukit-bukit granit terhampar lepas di laut, hal tersebut tentu menjadi pertimbangan tempat ini dipilih menjadi lokasi salah satu serial film James Bond (The Man with the Golden Gun). Phang Nga Bay juga dikenal sebagai James Bond Island.

Kami menemukan artikel Phang Nga Bay di kapal pesiar Mariner of The Seas, saat kami mengadakan pesiar mulai dari Singapura, Malaysia (Port Klang), Phuket dan kembali lagi ke Singapura. Pihak cruise memberi pilihan additional tour kepada penumpang mana yang menjadi pilihan kita saat ada di Phuket. Saat itu kami melihat Phang Nga Bay dalam rangkaian iklan dan seketika itu jatuh cinta.

Dengan menambah uang sebesar USD 75$ per orang, saya & suami memutuskan mengambil paket tersebut. Sebuah kesempatan yang langka dan tidak pernah kami bayangkan sebelumnya. Menyusuri perairan sekitar Phang Nga Bay sembari berputar menikmati batu-batu granit yang unik dan berdiri kokoh dengan menggunakan speed boat menjadi sebuah pengalaman untuk menikmati dan melihat pemandangan yang tidak ada duanya di dunia. Tak lupa kami singgah di desa terapung Kho Panyee Village, menjadikan liburan kami semakin beragam & indah.

Menurut tour guide kami, hanya ada 3 tempat yang hampir sama dengan Phang Nga Bay. Di Qualin China dan di Halong Bay Vietnam. Hal tersebut menjadikan kami semakin penasaran untuk membuat rencana mengintip keindahan Halong Bay yang fenomenal setelah kami mencicipi Phang Nga Bay.

Sungguh Tuhan teramat baik menciptakan sebuah karya yang luar biasa.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

Sorga Diantara Bukit Cadas ~ Lembah Harau


Pulau Sumatra selama ini kurang diperhitungkan  sebagai tujuan wisata favorit, tidak seperti  Bali, Lombok atau Flores. Apalagi gangguan asap akibat kebakaran lahan yang mengancam kesehatan dan keselamatan penerbangan semakin sering terjadi di wilayah ini. Kebanyakan orang  beranggapan  jika sudah mengunjungi Danau Toba di Sumatra Utara, maka tempat terindah di bumi Sumatra sudah dilihatnya. Pandangan semacam itu terjadi karena informasi tentang obyek wisata di negara kita masih sangat terbatas, sehingga banyak traveler harus aktif mencari informasi sendiri atau terlambat mengetahui “sorga tersembunyi” yang tersebar di pelosok Indonesia. Ironisnya informasi tempat-tempat terindah di Indonesia seringkali justru bersumber dari orang-orang asing atau majalah-majalah asing. Padahal Sumatra bukan hanya Danau Toba dan Padang bukan hanya caramelize beef curry alias  “rendang” saja. Daging sapi yang dipotong kotak-kotak, dibalut santan kental pedas dengan aneka bumbu dan dimasak cukup lama itu telah dipilih sebagai makanan paling lezat di seluruh dunia.  Bagaimana rasanya menikmati rendang di sebuah tempat yang nilai keindahannya setara dengan kelezatan makanan kebanggaan orang Padang itu? Sensasinya tentu luar biasa, saat kenikmatan di lidah berpadu dengan keindahan yang ditangkap mata.

“Setiap hari Senin di depan Pasar Koto Baru jalanan selalu macet, jarak Padang-Bukittinggi yang biasanya ditempuh 2 jam bisa menjadi 4-5 jam lebih, sebaiknya Uda dan Uni berangkat jam 6 pagi atau jam 2 siang.” “Bro, kalo Loe nginap di Bukittinggi siapkan photo copy akte nikah, karena sering ada operasi Yustisi di hotel-hotel kelas melati.” “Travel tujuan Padang-Bukittinggi dan arah sebaliknya, biasanya keliling kota dahulu untuk menjemput penumpang di rumahnya. Jadi harus cermat memperhitungkan waktu tempuh dengan jadwal penerbangan pesawat”. Kita saat hendak berlibur biasanya lebih sibuk memikirkan soal baju, sepatu,  makanan, tas, atau oleh-oleh, tetapi lupa mengumpulkan  informasi penting semacam itu. Jangan sampai   semangat dan  mood hendak bersenang-senang  rusak gara-gara kemacetan, jadi korban “penggrebekan” satpol PP atau hal lain yang sesungguhnya bisa dihindari. Informasi  tentang sarana transportasi, penginapan, keadaan lingkungan, adat-istiadat, makanan, cuaca dan lain sebagainya penting untuk diketahui sebelum pergi ke suatu tempat. Biasanya secermat apapun persiapannya, masih saja ada  informasi penting yang terlewatkan dan berpotensi menggagalkan liburan yang sudah direncanakan sejak lama dan memakan biaya tinggi.

Akhirnya mobil jenis minibus APV yang cukup nyaman  membawa kami dari Padang ke Bukittinggi sejauh 75 km dengan waktu tempuh  sekitar 2 jam. Kendaraan melaju di atas jalan aspal yang mulus,  sementara di kanan-kiri jalan tersaji keindahan hamparan sawah dengan padi menguning, perbukitan hijau dan sungai jernih yang berkelok-kelok. Pemandangan itu segera menimbulkan rasa tentram dan damai bagi mata yang melihatnya. Perjalanan menjadi semakin terasa luar biasa saat  tiba di Lembah Anai yang di kelilingi bukit hijau, dari tepi jalan terlihat air terjun setinggi sekitar 100 meter yang mengucur deras menebarkan butiran air yang terasa dingin saat menerpa wajah kita. Dalam perjalanan selanjutnya terbukti bahwa  semua keindahan yang terlihat saat itu ibarat menu pembuka saja. Sementara menu utama masih menunggu untuk menunjukkan kemegahan dan keindahan pada level yang jauh lebih tinggi. Di Bukittinggi terdapat banyak obyek wisata menarik seperti Jam Gadang, Janjang Koto Gadang, Gua Jepang, Ngarai Sianok, rumah peninggalan Bung Hatta dan lainnya. Namun obyek wisata yang menjadi tujuan utama kami tidak berada di kota yang ramai ini.

Kami harus segera melanjutkan perjalanan ke Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Koto. Di Bukittinggi ternyata sangat sulit menemukan rental sepeda motor, kebanyakan rental mobil. Jika ditemukan rental motor umumnya mereka sangat selektif: “Lebih aman menyewakan kepada orang asing daripada orang lokal. Kami tinggal meminta mereka meninggalkan paspor, dijamin motor aman” katanya. Kami beruntung  karena Setelah melalui “seleksi ketat” di jalan Ahmad Yani di bawah Jembatan Limapeh dekat Benteng Fort de Kock ada travel agen yang  mau menyewakan sepeda motor jenis matic yang nyaman: “Uni, sehari sewanya Rp 100.000, jika menginap dihitung dua hari. Tangki bensin sudah dipenuhi, nanti kembali juga penuh ya,” pesan Bu Trivia. Saya sengaja berperan lebih dominan daripada suami dalam wisata kali ini, agar lebih sesuai dengan budaya Minang yang menganut sistim kekerabatan matrilineal. Sewa mobil di sini sehari Rp 500.000, sehingga menyewa motor jauh lebih hemat.  Dalam perjalanan menuju Payakumbuh yang berjarak sekitar 45 km, jangan lupa mencoba minuman juice segar dari aneka buah dengan pemanis dari sari tebu asli yang  banyak dijual ditepi jalan.  Namun pengendara sepeda motor perlu hati-hati, karena banyak kendaraan besar yang melintasi dengan kecepatan tinggi di jalan penghubung antar propinsi ini. Pada saat pulang ke Bukittinggi, kami melihat kecelakaan mobil yang merengut  2 korban jiwa di daerah Baso. Di daerah itu ternyata memang  sering terjadi kecelakaan, karena jalan yang halus dan lurus justru membuat para pengendara lengah atau mengantuk.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit,  dari jauh terlihat  gapura dengan tulisan: “Welcome to Harau Resort”.  Beberapa ratus meter melewati gapura itu,  pemandangan masih “biasa-biasa” saja, hamparan  tanaman padi yang menguning  di kanan kiri jalan dan di kejauhan tampak perbukitan yang berwarna kebiruan. Setelah masuk sekitar 1 km, bentangan alam mulai berubah.  Mata kami tiba-tiba dihadapkan pada tebing-tebing raksasa beraneka bentuk dan ukuran tersebar diberbagai tempat. Tebing-tebing raksasa dengan ketinggian sekitar 150-200 meter itu  permukaannya nyaris tegak lurus dan berwarnai warni, merah, biru, kuning, hijau, oranye loreng-loreng seperti motif baju tentara. Panorama berupa hamparan sawah yang luas dengan di keliling tebing-tebing yang indah itu  semakin luar biasa saat di kejauhan tampak air terjun yang berkilauan memantulkan sinar matahari. “Sayang, ini  bukan keindahan biasa, mungkin yang terindah yang pernah kita saksikan”, komentar suamiku ber-semangat. “Kamera jenis apapun sepertinya tidak akan bisa menghasilkan gambar seindah aslinya”, tambahnya.

Di tepi jalan mulai tampak beberapa  penginapan dengan gaya arsitektur rumah gadang yang menarik dan  selaras dengan pemandangan sekitarnya. Kami beruntung telah memesan penginapan model Cottage yang di bangun di tepi sawah  dan hanya berjarak sekitar 50 meter saja  di depan sebuah air terjun. Penginapan bergaya etnik ini dibangun dengan konsep back to nature dan mampu menghadirkan suasana pedesaan tempo dulu yang sudah sangat sulit ditemukan. Dari konsep tersebut langsung bisa dirasakan bahwa penginapan ini dibangun menyesuaikan selera orang asing. Dan dugaan itu tidak salah karena dari enam buah bangunan berukuran 4×6 meter, semuanya di sewa orang Canada, Perancis dan Belgia. Kami di tempat itu menjadi seperti orang asing di negeri sendiri: “95 % penyewa orang asing, orang lokal sering ditolak karena ribet memenuhi permintaan dan protes mereka  soal kenapa di kamar tidak ada televisinya?” kata Uda Yoga. Hal itu berbeda dengan para tamu asing yang biasanya memilih mematikan semua lampu pada malam hari, sehingga suasananya gelap gulita namun membuat lingkungan semakin terasa alami.   Sekali lagi catatan buruk bagi wisatawan lokal. Penilaian yang menyakitkan namun lebih baik dijadikan sebagai bahan untuk mawas diri saja: “Mengapa di tempat wisata kelas dunia di Indonesia, wisatawan lokal justru sering mengalami diskriminasi?”

Bentuk rumah dan lingkungan penginapan yang asri dan nyaman, sempat membuat kami malas untuk pergi kemana-mana. Namun untungnya rasa penasaran untuk segera berkeliling melihat  keindahan kawasan Lembah Harau jauh lebih kuat. “Nanti di pertigaan belok kanan saja, pemandangannya jauh lebih bagus!” demikian kata Uda Yoga ramah.  Kami pergi ke arah itu dan menemukan beberapa air terjun yaitu  Aie Luluih, Sarasah Bunta, Sarasah Murai dan sarasah Aie Angek di lokasi yang berdekatan.  Di Sarasah Aie Luluih ini air terjunnya mengalir melewati dinding batu dan dibawahnya terdapat kolam untuk mandi yang alami dan asri, terlihat anak-anak bermain air penuh kegembiraan. Di Sarasah Bunta air terjunnya beruntai-untai berkilauan apabila terkena sinar matahari. Pada siang hari di  Sarasah Murai  sering dijumpai burung murai mandi sambil memadu kasih sehingga masyarakat menamakan tempat ini “Sarasah Murai “. Sarasah Aie Angek letaknya di sebelah Utara  Sarasah Murai, airnya disini  terasa hangat, sayangnya tempat ini belum banyak dikunjungi wisatawan.

Di kawasan Lembah Harau kira-kira terdapat 12 air terjun yang  konon airnya bersumber dari mata air di provinsi Aceh yang jaraknya sekitar 1400 km dari daerah itu. Air terjun itu banyak di manfaatkan oleh penduduk dan penginapan setempat untuk memenuhi kebutuhan air setiap harinya.  Di bawah air terjun itu selalu terdapat bak penampungan air yang cukup lebar dengan kedalaman rata-rata 60-80 cm yang berair jernih dan segar. Jangan lewatkan kesempatan untuk mandi di alam terbuka tersebut, karena sangat sulit menemukan kamar mandi dengan desain “spektakuler” seperti itu.  Sensasinya luar biasa saat bisa mandi dibawah shower raksasa di tengah persawahan yang relative sepi.  Namun tentu saja untuk melakukan hal itu, kita harus tetap memperhatikan adat-budaya Minang yang religius.  Kaum perempuan sebaiknya memakai baju (kaos) saat mandi di daerah ini. Sayangnya air terjun ini tidak mengalir saat musim kemarau, jadi jika ingin menikmati keindahan Lembah Harau dengan sempurna, faktor cuaca perlu diperhatikan. Di kawasan wisata ini juga terdapat taman rekreasi untuk anak-anak, kolam renang dari air pegunungan yang segar dan tentu saja bebas kaporit. Di Sarasah Murai terdapat fasilitas flying fox yang cukup menantang. Di tempat tertentu yang sudah ditandai, kita bisa mendengarkan pantulan suara (gema) atau echo yang cukup menarik. Kita juga bisa menyewa sampan di parit buatan yang airnya jernih dan  penuh ikan besar dengan tarif yang cukup murah. Bagi mereka yang hobby tanaman, di Sarasah Aie Luluih aneka tanaman seperti  anggrek, naphentes alias kantong semar yang di Jakarta harganya mencapai ratusan ribu, di sini hanya dijual puluhan ribu  saja.

Mengelilingi Lembah Harau atau Arau selain menikmati keindahannya berbagai bentuk tebingnya, terlintas pula  pertanyaan: ”Bagaimana awal mula terjadinya tempat ini dahulu? Proses pembentukannya terjadi secara cepat atau bertahap? Mengapa permukaan tebing itu bisa berwarna-warni seperti pelangi?” Beberapa orang mengkaitkan terbentuknya Lembah Harau dengan letusan gunung purba di Sumatra Utara yang melahirkan Danau Toba kira-kira 48.000 tahun silam. Dibutuhkan imajinasi yang luar biasa untuk membayangkan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu.   Saat kawasan ini  ribuan atau jutaan tahun lalu “diobok-obok” sedemikian rupa oleh kekuatan yang maha dahsyat sehingga  terjadi penurunan, pengangkatan dan entah peristiwa apalagi sehingga topologi  tempat ini sangat  unik dan berbeda dengan tempat lain. Di suatu tempat dapat ditemukan tebing yang seperti terpuntir sehingga mirip spiral. Sulit membayangkan Kekuatan yang  mampu membuat  batu cadas raksasa itu  tampak seperti kain cucian terpuntir.   Menurut legenda setempat  kawasan ini  dahulunya  berupa  lautan. Kisah itu dikuatkan oleh hasil    tim peneliti Jerman pada tahun 1980 yang menemukan beberapa jenis  bebatuan yang biasanya terdapat di dasar laut. Apapun prosesnya, hal yang pasti tangan Tuhan Sang Arsitek Agung yang berada dibalik semua keindahan di Lembah Harau saat ini.

Tebing-tebing granit yang menjulang gagah itu pasti juga sangat menggoda  bagi para pemanjat tebing.  Mereka di tempat ini tinggal memilih tebing yang akan dipanjat sesuai dengan kemampuan mereka. Sementara  mereka yang penasaran ingin naik ke atas tebing, tetapi tidak memiliki ketrampilan panjat tebing, tetap bisa naik ke atas dengan menyusuri jalur pendakian yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Banyak penginapan yang menyediakan pemandu dan fasilitas memanjat tebing: “Kami masih kesulitan mencari sepatu yang berukuran 43 ke atas bagi para pemanjat tebing asing,” keluh salah satu penyedia layanan panjat tebing. Namun dilihat dari sarana dan prasarana yang ada, sepertinya pihak pemerintah daerah dan penduduk setempat mampu bersinergi sehingga telah menjadi pemain utama dan memiliki kontribusi positif bagi pengembangan pariwisata di sini. Kehadiran investor dari luar daerah yang membuka penginapan di tempat ini telah membuka lapangan kerja dan memicu proses transfer pengetahuan yang sangat berguna bagi warga setempat. Hal itu terbukti dari pemilik penginapan kami, yang sebelumnya hanya seorang pekerja di sebuah penginapan, tetapi sekarang mampu memiliki penginapan sendiri  dengan konsep  dan pelayanan yang sangat bagus.

Lembah Harau tempat yang ideal bagi mereka yang ingin sejenak memutus rantai rutinitas kerja, kemacetan, lingkungan  ramai dan bising yang biasa dijumpai di kota-kota besar.  Kehidupan malam di sini sangat tenang, tidak ada café atau resto dengan musik yang hingar bingar. Di malam hari ribuan bintang berkilauan tampak terasa dekat, seolah-olah seperti lampu-lampu kecil yang melekat di langit-langit rumah. Sementara desau lembut aliran air terjun, suara jangkrik, katak, kumbang, kadang kala suara monyet ekor panjang menjadi orchestra alam yang mampu menghadirkan suasana surgawi di tempat ini. Keindahan Lembah Harau terjadi setelah mengalami bencana alam yang maha dahsyat di masa silam. Hal itu membawa pesan moral bagi kami bahwa saat hidup penuh masalah dan penderitaan, bisa jadi Tuhan sengaja mengijinkan hal itu terjadi agar di kemudian hari kita dapat menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.

Di pagi buta, saat matahari masih terlelap, aku keluar untuk menghirup udara segar. Seorang ibu mendekati saya: ”Jangan pergi dulu, saya buatkan sarapan sebentar ya!” Ia rela bangun lebih awal agar bisa melayani kami, sungguh sangat mengharukan: “Terima kasih sekali, kami harus segera berangkat.” Deru lembut air terjun, suara binatang malam dan halimun tipis yang mengantung tenang seolah memberikan salam perpisahan.  Dalam kata yang tak terucap aku berseru: “Terima kasih Tuhan!”  Menemukan keindahan alam, makanan lezat, keramahan penduduk dan teman baru dari berbagai penjuru dunia membuat kami sulit untuk meninggalkan tempat ini. Namun kami harus segera pergi,  dalam hati kami berjanji pasti akan kembali ke Lembah Harau yang memiliki sejuta pesona itu.

Salam Travelling!

Desa Pampang dengan sebuah Rumah Lamin identitas masyarakat Dayak Kenyah, Samarinda Utara – Kalimantan Timur


Aku percaya selain destinasi wisata alamnya, wisata budaya di Indonesia seolah tidak pernah bisa berhenti. Ribuan pulau yang dimiliki negeri cantik ini menyuguhkan puluhan ribu budaya dan suku yang tersebar di dalamnya. Pulau Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia. Jika mendengar kata Kalimantan, maka segera kita ingat Suku Dayak. Suku Dayak identik dengan suku yang tinggal di pedalaman hutan rimba, sehingga seolah – olah kita sulit untuk menjangkaunya.

Samarinda merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur adalah destinasi wisata budaya yang aku pilih kali ini. Di sana akan kutemukan sebuah desa budaya, Desa Pampang tempat tinggal suku Dayak Kenyah. Tidak seperti ibukota provinsi pada umumnya yang bisa dijangkau secara langsung dari Jakarta, Samarinda memiliki pilihan yang berbeda. Walaupun memiliki Bandar Udara sendiri, tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Samarinda. Untuk menuju Samarinda, kita menempuh penerbangan dari Jakarta ke Balikpapan selama kurang lebih 2 jam dengan perbedaan waktu 1 jam lebih cepat, karena Kalimantan Timur termasuk dari wilayah Indonesia bagian tengah (WITA). Sesampainya di Balikpapan ada 2 pilihan tranportasi yang bisa kita pilih untuk menuju Samarinda. Yang pertama kita bisa menggunakan pesawat kecil dengan jumlah penumpang kurang lebih 50 orang, ini pun tidak setiap hari ada dan kita harus pesan jauh – jauh hari sebelumnya, atau menempuh jalan darat menggunakan jasa travel atau sewa kendaraan roda 4 dengan waktu tempuh lebih kurang 3 jam.

Aku lebih memilih menempuh jalan darat, walaupun waktu lebih lama tetapi lebih bersahabat di kantong dan tentu saja aku bisa menikmati perjalanan sepanjang Balikpapan ke Samarinda. Tarif travel Balikpapan ke Samarinda berkisar 120 ribu rupiah, sedangkan jika kita menyewa kendaraan roda 4 berkisar 300 ribu hingga 500 ribu rupiah, tergantung negosiasi kita dengan Pak Supir-nya. Jalan dengan aspal yang mulus menemaniku sepanjang perjalanan ini, tidak heran jika rasa kantuk mulai menerpaku, karena relatif sangat lancar. Kurang lebih 1 jam perjalanan, travel yang aku tumpangi melewati sebuah hutan lindung yang bernama ‘Taman Hutan Raya Bukit Soeharto’ di daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Hutan ini memiliki fungsi yang strategis, selain untuk menjaga kelestarian alam lingkungan juga untuk menjaga keanekaragaman hayati flora dan fauna. Tetapi sayangnya, kebakaran hutan kerap terjadi di kawasan taman hutan raya yang seluas kurang lebih 61.850 hektar.

Melewati kawasan hutan ini, semakin membuatku mengantuk, bagaimana tidak, travel yang sudah dilengkapi AC ini semakin terasa sejuk saat melewati kawasan hutan. Dengan sengaja segera kurebahkan kepalaku di kursi travel yang bisa kuatur agak rendah supaya nyaman untuk tidur.

Begitu memasuki Samarinda, aku disambut dengan bentangan panjang nan lebar Sungai Mahakam yang gagah. Di sepanjang sungai Mahakam yang berwarna kecoklat-coklatkan banyak sekali hilir mudik kapal – kapal khusus sejenis tongkang yang mengangkut batubara. Jika tongkang tersebut menuju hilir maka akan kita temukan tumpukan batubara yang menggunung. Aku berdecak dalam hati, lihatlah Indonesiaku yang kaya raya dengan hasil tambang, kemanakah batubara yang menggunung itu bermuara? Apakah kekayaan alam itu untuk rakyat Indonesia? Ah… entahlah… Aku tersadar dari lamunanku, travel yang aku tumpangi mulai menyeberangi jembatan yang membentang di atas aliran Sungai Mahakam. Cukup panjang jembatan yang aku lalui. Aku juga memperhatikan, di jembatan ini hanya kendaraan roda 2 dan kendaraan roda 4 yang boleh melintas. Hal itu membawaku bertanya kepada Bapak Supir travel. Mudah bagiku untuk bertanya dengan Pak Supir, karena memang aku duduk tepat di kursi belakang Pak Supir. ‘Pak, mengapa tidak ada truk – truk besar melewati jembatan ini?’ tanyaku. ‘Ada jembatan lain Mbak yang khusus buat kendaraan bermuatan berat, soalnya takut jebol neh jembatan yang ini’, jawab Supir itu kepadaku. ‘Oh, begitu Pak. Terima kasih’, jawabku kembali. Jawaban Supir travel ini mengingatkanku dengan jembatan Sungai Mahakam juga yang roboh di daerah Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Aku meminta Pak Supir untuk mengantarku di Pasar Pagi Samarinda. Sesampainya di sana aku sudah di jemput oleh seorang kawan lama satu almamater saat kami kuliah di Yogyakarta dahulu. Tepatnya dia adalah adik kelasku, tetapi karena usianya 3 tahun di atasku, maka aku memanggilnya Mbak. ‘Welcome to Samarinda’, Mbak Vonny menyapaku. Terima kasih Mbak Vonny, senang berjumpa denganmu’, balasku. Temanku ini kelahiran Samarinda 31 tahun yang lalu, dia dibesarkan dan tinggal di kota ini bersama keluarga besarnya. Tetapi anehnya, dia sama sekali belum pernah ke Desa Budaya Pampang, sebuah desa yang menjadi destinasiku kali ini.

Hari sudah semakin siang, segera kami berangkat menuju Pampang, sebuah desa budaya tempat bermukim Suku Dayak Kenyah yang berjarak kurang lebih 20 km dari Samarinda yang kami tempuh selama kurang lebih 1 jam menggunakan kendaraan bermotor roda 2. Hari itu adalah hari Rabu yang merupakan salah satu hari kerja sehingga jalanan pun cenderung sepi. Menuju desa Pampang berarti mengikuti jalan poros Samarinda ke Bontang. Desa Pampang ada di Samarinda bagian utara tepatnya di kecamatan Sei Siring.

Setelah berkendara sekitar 1 jam, di sebelah kiri jalan kami menemukan sebuah petunjuk ‘Selamat Datang di Desa Pampang’. Kami berbelok ke kiri dan mengikuti petunjuk yang ada. Setelah belokan ke kiri tadi jalan yang kami lalui sudah bagus, karena sudah di beton. Tidak jauh dari situ, kita sudah masuk ke Desa Pampang. Karakter rumah di daerah tersebut sudah memiliki ciri tersendiri, dengan atap rumah khas suku Dayak. Kami semakin masuk ke dalam mencari Rumah Panjang, Rumah Lamin yang gambarnya sering kutemukan di internet.

Di sebelah kiri jalan, Rumah Lamin milik Suku Dayak Kenyah yang selama ini hanya kutemukan di internet berdiri dengan gagah dan kuat di depanku. Saat kami tiba, sekitar rumah itu sangat sepi. Hari itu hanya aku dan temenku yang menjadi wisatawan Rumah Lamin ini. Setelah memarkirkan kendaraan kami, aku asik memotret keindahan arsitek dan keunikan ornamen dari Rumah Lamin tersebut. Rumah Lamin milik Suku Dayak Kenyah itu begitu besar dan panjang, sedikit sulit mencari sudut yang tepat untuk memotret keseluruhan rumah supaya tampak penuh. Di depan Rumah Lamin tersebut ada satu totem khas Dayak yang tinggi sekali, di ujung totem ini dihiasi dengan ukiran burung.

Akhirnya kami memasuki Rumah Lamin ini, disini kami bertemu dengan para tetua Suku Dayak Kanyeh yang berjumlah 5 orang, semuanya laki – laki. Tiket masuk ke Rumah Lamin ini 25 ribu per orang, jika ingin berfoto dengan para tetua Suku Dayak Kanyeh dan jika ingin menyewa baju adat mereka masih dibutuhkan tambahan uang lagi. Yang begitu menakjubkan bagiku adalah yang menjadi dinding pemisah antara bagian ruang pertemuan dengan bagian ruangan berikutnya merupakan ornamen ukiran tangan dari kayu yang menakjubkan. Ukiran kayu tersebut seolah – olah sebuah lukisan besar yang menceritakan sebuah keadaan di hutan belantara yang masih banyak pohon dan binatang berkeliaran. Ornamen ukiran kayu yang di dominasi warna kuning tersebut membuatku berdecak kagum dan tak henti – hentinya tanganku meraba secara perlahan ukiran kayu tersebut seolah ingin merasakan lekukan – lekukan ukiran kayu itu.

Dari para tetua tersebut kami mendapatkan informasi, biasanya mereka mengelar tarian adat dayak pada setiap hari minggu sore. Sayang sekali kali tidak bisa menikmati tarian dayak tersebut, karena kami datang pada hari rabu. Tetapi itu tidak menjadikanku kecewa, karena keindahan arsitektur dari Rumah Lamin ini menjadi pemandangan yang sangat menarik tersendiri bagiku. Setelah puas bercengkrama dan berfoto – foto, kami kembali menuju parkiran. Tetapi sebelumnya, kami tak lupa membeli souvenir gelang manik – manik khas Dayak yang mereka jual di luar Rumah Lamin tersebut. Tidak hanya sekitar rumah lamin tersebut, penduduk setempat rata – rata juga menjual souvenir yang mereka gelar di depan rumah mereka sendiri.

Setelah mengunjungi obyek wisata Desa Budaya Pampang, temanku menyarankan agar kami sejenak mampir ke Air terjun Tanah Merah Indah yang lokasinya sekaligus menuju Kota Samarinda kembali.

Suku Dayak Kenyah bangga dengan Rumah Lamin mereka yang berdiri tegak di Desa Pampang. Mari sejenak kita bertamu…

Salam Traveling!

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Mencicipi Sunrise Pantai Lovina bersama Lumba – Lumba, Singaraja ~ Bali Utara


Siapa tidak mengenal Bali? Pulau nan cantik dan mempesona di wilayah bagian tengah Indonesia sudah sangat familiar baik di dalam maupun luar negeri. Di setiap sudut Pulau Bali, seolah semua keindahan alam maupun budaya bisa dengan mudah kita temukan. Ditengah kehidupan modern yang kompleks, tradisi masyarakat Bali yang sangat kuat menjadi daya tarik tersendiri di samping keindahan alamnya yang sangat luar biasa. Tidak heran jika Pulau Bali terkenal mendunia.

Potensi wisata di Pulau Bali hampir tersebar merata di setiap daerahnya. Hanya saja destinasi wisata Bali bagian selatan cenderung lebih populer, sebut saja Pantai Kuta, Legian, Uluwatu hingga ke Pantai Padang – Padang tempat syuting film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Robert. Bisa jadi ini disebabkan jarak destinasi wisata yang sangat dekat dengan Bandar Udara International Ngurah Rai yang juga berada di bagian selatan Bali.

Tetapi cobalah tengok ke Bali bagian Utara, ada Pantai Lovina yang berada di Desa Kalibukbuk, Kabupaten Singaraja, Provinsi Bali. Pantai Lovina berjarak kurang lebih 10 km dari Singaraja, jika kita dari Kuta atau Denpasar bisa ditempuh kurang lebih 4 hingga 5 jam menggunakan jasa travel, atau sewa kendaraan roda 4 atau roda 2. Sangat mudah menemukan destinasi wisata ini, hampir seluruh destinasi wisata di Pulau Bali memiliki petunjuk arah yang sangat baik, sehingga jika kita berpergian seorang diri menggunakan sewa kendaraan roda 2 kemungkinan besar kita tidak tersesat.

Tiba di Bali tepat pada siang hari yang cenderung panas, tetapi hal itu tidak menyurutkan kegembiraan kami untuk menikmati liburan ini. Perjalananku kali ini ditemani dengan suami tercinta dan kami memilih untuk menyewa kendaraan roda 2 yang kami sewa seharga 60 ribu rupiah. Kami tidak perlu repot – repot mencari tempat penyewaan motor, karena kami sudah memesan via telepon saat di Jakarta, sehingga begitu kami tiba di Bandara Ngurah Rai, motor yang sudah kami pesan diantarkan oleh petugas penyewaan. Banyak sekali jasa sewa motor di Bali yang bisa kita temukan di internet, dan ini sangat memudahkan para wisatawan dalam masalah transportasi. Kami memilih mengunakan kendaraan roda 2 karena kami ingin menikmati kesejukan udara, semilir angin, sengatan udara panas dan semua nuansa alam Pulau Bali.

Segera sesudah itu kami berkendara ke arah utara mengikuti petunjuk arah yang ada. Rute yang kami pilih melewati Badung, Mengwi, Bedugul dan terus ke utara hingga sampai Singaraja. Sejenak kami mampir ke Bedugul mengunjungi sebuah Pura yang dibangun ditengah danau, yaitu Pura Ulun Danu Beratan. Setelah puas menikmati keindahan alam dari Bedugul yang merupakan dataran tinggi yang sejuk, kami segera melanjutkan perjalanan kami ke arah utara menuju Pantai Lovina.

Kami tiba di Lovina senja hari saat matahari mulai masuk ke peraduannya. Di daerah tersebut banyak penginapan murah yang bisa kita dapatkan. Penginapan tersebut juga relatif bersih dan nyaman. Biasanya dari penginapan tersebut kita mendapatkan info mengenai berburu lumba – lumba saat pagi hari. Harga yang ditawarkan untuk menyewa perahu kecil, dalam bahasa lokal mereka menyebutnya cadik relatif murah. Biasanya mereka akan menawarkan harga rata-rata 80 ribu rupiah per orang, tetapi jika kita beruntung, kita bisa mendapatkan harga 60 ribu rupiah per orang. Malam itu kami membuat janji dengan Pak Tana, pemilik cadik yang besok akan membawa kami berburu lumba – lumba liar di laut Lovina. Kali ini kami sangat beruntung, Pak Tana hanya mencari 2 orang saja di dalam cadik-nya, jadi hanya saya dan suami dan Pak Tana sebagai kaptennya yang besok akan berpetualang, dan Pak Tana hanya meminta 120 ribu saja untuk 2 orang yang menyewa cadik-nya.

Pagi – pagi benar pukul 04.30 WITA, Pak Tana membangunkan kami. Dia mengatakan kepada kami untuk segera bersiap dan menunggu selama 10 menit. Setelah selesai berkemas, segera kami berjalan menuju pantai dimana cadik Pak Tana sudah menunggu kami. Tepat pukul 05.00 WITA kami mulai berlayar menuju laut lepas. Keadaan masih gelap gulita dan sangat dingin, tetapi demi sebuah sunrise yang begitu kami rindukan bersama datangnya lumba – lumba liar yang sudah kami impikan, itu bukan sesuatu yang sulit untuk kami hadapi.

Cadik digerakkan menggunakan mesin motor, sehingga suara yang meraung – raung terdengar sangat keras. Deburan ombak laut seakan memecahkan raungan mesin motor tersebut. Tiba – tiba saja, siluet di ujung timur mulai tampak. Begitu terpesonanya kami dengan tahapan sinar – sinar siluet yang mulai lugas yang mengiringi bangunnya Sang Surya dari peraduannya. Tidak henti – hentinya tangan kecilku mengambil tiap moment berharga dari tahapan tersebut menggunakan kamera kami. Kurang lebih satu jam kami berlayar ke laut lepas untuk mencari tempat dimana lumba – lumba tersebut datang bersama terbitnya Mentari.

Bukan hanya cadik yang kami sewa saja yang berlayar ke tengah laut, semakin terang semakin banyak cadik yang berlayar yang juga memiliki tujuan yang sama dengan kami yaitu berburu dolphin liar yang mempesona. Pak Tana berkata, kami warga lokal sangat bergantung kepada para wisatawan yang menyewa cadik kami untuk melihat lumba – lumba. Jika anda mendapatkan hari baik, maka lumba – lumba akan menampakkan diri kepada kita. Karena tidak jarang juga kami tidak menemukan satupun lumba – lumba disini walaupun kami sudah berputar-putar, jadi kadang – kadang kami tidak enak dengan para wisatawan. Ini sangat tergantung dengan factor cuaca.

Tidak lama setelah hampir satu setengah jam berputar – putar di tengah dan Mentari pagi mulai terbit, menyembulkan cahaya kekuningan emas yang indah, tidak jauh disana aku melihat seekor ikan berukuran sedang menyembulkan badannya seolah melompat. Secara tak sadar aku berteriak gembira, ‘Lihat disana Pak, lumba – lumbanya terlihat’! Dan ternyata tidak hanya satu, mereka berkelompok seolah – olah sedang bermain – main menyambut terbitnya sang Raja siang. Setelah teriakkanku, Pak Tana segera berpacu dengan waktu menambah kecepatan ke arah yang baru saja aku tunjukkan, dan yang menarik seolah – olah serempak, semua cadik yang berlayar di tengah laut di sekitar kami pun segera menuju ke arah lumba – lumba yang terlihat tadi. Disinilah hal tersebut terlihat menarik, semua kapten cadik seakan – akan ingin memuaskan para wisatawan yang menyewa cadik mereka untuk melihat lumba – lumba dari jarak yang relatif dekat.

Tetapi jika jarak semakin dekat, lumba – lumba itu seolah takut dengan kehadiran kami semua, dan lumba – lumba tersebut malu untuk menampakkan diri lagi. Sesaat kami tampak kecewa, tetapi terdengar di seberang sana… ‘Look, the dolphins over there!’ Seorang wisatawan mancanegara meneriakkan hal tersebut. Tentu saja Pak Tana dan semua kapten cadik berlomba membelokkan cadik mereka mengejar kearah kelompok lumba – lumba itu. Hal itu sangat menarik sekali dan membuat kami sangat terkesan. Beberapa kali kelompok lumba – lumba menampakkan diri. Hari itu kami dan tentunya para wisatawan yang lain sangat beruntung bisa melihat kelompok lumba – lumba yang relatif banyak. Lumba – lumba tersebut banyak kami abadikan dalam bentuk video dan foto. Terkadang kita menemukan lumba – lumba hanya berjarak kurang lebih 5 meter dari cadik kita. Sungguh merupakan pengalaman yang berbeda. Setelah kelompok lumba – lumba mulai menghilang, kira – kira pukul 08.00 WITA, Pak Tana membawa kami ke sebuah titik mendekati arah pantai yang tidak terlalu dalam tetapi panorama bawah lautnya indah tempat kami melakukan snorkeling.

Pak Tana sudah menyiapkan alat snorkeling, katanya itu sudah merupakan fasilitas yang kami dapatkan dari menyewa cadik-nya. Tentu kami senang sekali. Aku menemukan banyak bintang laut di bawah sana, dan kami sangat menikmati snorkeling kami. Bagi snorkeling pemula, jangan takut, sebab kapten cadik yang sudah kita sewa adalah perenang yang hebat, sehingga mereka juga memandu dan menjaga kita saat snorkeling. Setelah snorkeling cukup lama dan bermain disekitar cadik, kami mulai lelah. Cuaca yang semakin terik mulai membakar kulit kami, sehingga kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan yang sangat berkesan ini.

Kami kembali ke pantai dan Pak Tana menyandarkan cadik-nya kembali. Begitu di bibir pantai kami disambut dengan pedagang – pedagang mutiara yang menjajakan barang dagangannya. Ada kalung mutiara, gelang, anting – anting dan masih banyak lagi. Harga yang ditawarkan cenderung jauh lebih murah dibandingkan yang dipajang di toko – toko souvenir sepanjang jalan utama pantai Lovina, dan kita pun masih bisa menawarnya.

Setelah berpamitan dengan Pak Tana, kami kembali ke penginapan dan melanjutkan perjalannan kami. Kami berharap, suatu hari nanti kami kembali ke Pantai Lovina. Sunrise yang sangat kami rindukan dengan hadiah lumba – lumbanya yang luar biasa adalah sebuah kenangan yang tersimpan sepanjang masa bagi kami.

Cicipilah Sunrise Pantai Lovina bersama dengan Lumba – Lumba. Terkhusus menikmatinya bersama kekasih hati 🙂

Salam Traveling!

Taman Pra Sejarah Leang – Leang, Leang Petta Kere – Maros, Sulawesi Selatan


Maros, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan menyimpan pesonanya yang luar biasa. Ibu kota Kabupaten Maros adalah Kota Maros itu sendiri, berjarak kurang lebih 44 km dari Makassar yang merupakan ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Eksotisme alam Maros sangat berbeda dengan wilayah lainnya. Maros memiliki kawasan karst/kapur yang sangat luas yang merupakan keajaiban panorama alam perbukitan karst dan juga potensi wisata pra sejarah yang berupa gua-gua alam yang eksotik dan alami. Banyak destinasi wisata yang ditawarkan dari kabupaten Maros, tetapi pilihan kami jatuh pada sebuah taman pra sejarah Leang-Leang yang merupakan salah satu destinasi wisata di Leang Petta Kere.

Taman Pra Sejarah Leang-Leang terletak pada deretan perbukitan karst/kapur yang curam di Kelurahan Kallabirang, Kecamatan Bantimurung, yang dapat ditempuh kurang lebih 1 jam dari Kota Makassar menggunakan kendaraan roda 4 atau roda 2 ke arah lokasi wisata Bantimurung. Tidak terlalu sulit menemukan Leang Petta Kere, lima belas menit sebelum ke lokasi air terjun, ada sebuah petunjuk belok ke kiri untuk menuju Taman Pra Sejarah Leang – Leang. Setelah belok kiri, kami disambut dengan jalan yang berkelok dan cenderung belum rata dengan pemandangan persawahan samping bukit – bukit terjal dengan diselingi batu-batu besar menjadi hal yang sangat istimewa.

Suatu siang yang sangat terik itu sampailah kami di Leang Petta Kere, objek wisata Taman Pra Sejarah Leang – Leang, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Kami disambut dengan ramah oleh petugas yang menjaga Taman Pra Sejarah ini. Setelah memarkirkan mobil yang kami sewa dari Makassar, kami menuju Loket dan membeli tiket masuk seharga 10 ribu rupiah per orang. Harga tiket tersebut cenderung murah mengingat yang akan kami lihat adalah jejak warisan purbakala yang sangat berharga. Di loket kami diberi pengarahan oleh petugas mengenai hal – hal yang bisa kami temukan disini. Kami dipersilahkan berkeliling untuk menikmati panorama alam bukit –bukit karst yang ada disitu dan jika ingin masuk ke Gua Pettae, kami diminta untuk menginformasikan hal tersebut ke petugas. Karena pintu masuk ke Gua Pettae dikunci demi alasan keamanan. Di dalam Gua Pettae tersebut keberadaan lukisan pra sejarah yang berupa puluhan gambar telapak tangan manusia purbakala dan lukisan gambar babi rusa yang sedang melompat ditemukan.

Taman Pra Sejarah Leang – Leang ini terlihat terawat dan bersih. Taman ini menyuguhkan hamparan batu – batu hitam tegak menjulang ke langit yang merupakan ciri khusus dari daerah perbukitan karst. Batu – batu hitam tegak tersebut seolah membuat kelompok – kelompok tertentu. Semakin kami ke dalam dengan menyusuri  jalan setapak yang dibuat untuk memudahkan para wisatawan, semakin banyak kami menemukan batu – batu hitam tegak menjulang. Ada tempat dimana kami menemukan pohon besar yang rindang di antara batu – batu tersebut, sejenak kami melepas lelah dengan duduk dibawahnya atau pondok – pondok kecil yang sudah disiapkan petugas sambil kita merasakan terpaan semilirnya angin perbukitan karst yang menambah sensasi dari perjalanan kami. Setelah puas menikmati pemandangan tersebut, kami berfoto – foto ria sebelum beranjak ke Gua Pettae. Batu – batu hitam tegak tinggi menjulang tersebut merupakan latar belakang paling fantastis untuk kami abadikan.

Salah satu dari kami memanggil petugas untuk menuju ke Gua Pettae. Jalan ke arah Gua Pettae tidak terlalu jauh dari taman batu –batu tersebut. Terdapat juga pohon – pohon tinggi menuju ke Gua dan juga menyeberangi sebuah sungai kecil yang berair jernih. Semakin mendekati gua, jalan semakin naik dan menanjak. Gua tersebut berada pada sebuah tebing bukit dan untuk menuju ke pintu gua, kami harus menaiki tangga besi yang sangat curam setinggi 15 meter. Begitu pintu gua di buka, kami menemukan ruangan yang menjorok ke dalam seperti sebuah pelataran gua selebar kurang lebuh 2 hingga 3 meter. Kami harus memanjat sebuah batu di depan pelataran gua jika ingin melihat jejak purbakala berupa lukisan puluhan tangan manusia pra sejarah dan lukisan babi rusa yang seakan melompat. Kami merasa sangat takjub dengan hal itu. Kepada petugas, kami  juga bisa menanyakan  hal – hal detail yang ingin kami ketahui tentang gua ini.Setelah puas dengan jejak purbakala tersebut, kami masuk ke dalam Gua Pettae melalui pelataran gua. Pada ujung gua tersebut ada sebuah celah kecil. Dari celah kecil ini kita bisa melihat keindahan Lokasi Taman Pra Sejarah Leang – Leang dari ketinggian.

Taman Pra Sejarah Leang – Leang, membuat kami seolah – olah tersihir kembali ke zaman purbakala dengan semua jejak – jejak yang ditinggalkan. Sebuah destinasi yang eksotis bagi yang mencintai wisata sejarah.

Salam Traveling!

Follow Your Passion and Success Will Follow You


 

Siang ini cuaca Jakarta mudah berubah, terkadang panas terik dan terkadang teduh syahdu. Hal ini membuatku untuk menulis sebuah catatan pada blog kami. Bulan Februari, Maret dan April2013  ini adalah beberapa bulan yang sangat berarti dan menjadi salah satu sejarah dalam kehidupan kami, khususnya untuk ku secara pribadi. Ini terkait dengan mimpi – mimpi yang selalu bermunculan dalam imajinasiku dan kini perlahan lahan mulai menampakkan sosok nyatanya.

Berawal dari cerita akhir tahun 2012, dimana saya dengan dukungan suami tentunya berkeyakinan diri untuk submit pendaftaran beasiswa ADS 2013 ke Australia. Tetapi saya tidak beruntung pada kesempatan tersebut. Awal November saya mendapatkan sepucuk surat dari ADS (Australian Development Scholarship) yang menyatakan bahwa saya tidak lolos seleksi administrasi program beasiswa tersebut. Jujur saja, itu membuat saya sangat kecewa. Segala persiapan yang menunjang untuk proses administrasi beasiswa telah saya lakukan dan bukan hanya mengorbankan berapa banyak waktu, tenaga dan pikiran bahkan dana untuk khursus Preparing IELTS Course and Test IELTS  dan beberapa hal yang lain.  Tetapi bagaimana pun itu bukan hal yang patut saya sesalkan dalam jangka waktu yang lama.

Desember 2012, kami membuat sebuah resolusi. Kami memiliki pandangan searah, bahwa jika memang beasiswa belum saya peroleh itu hanya masalah waktu. Dan hingga hari ini saya percaya itu. Kami sepakat untuk ‘beralih pekerjaan’. Saya sudah mendapatkan penggalaman S1 Medical Physics di Universitas Indonesia dan lulus Februari 2012, dan juga pengalaman bekerja sebagai Radiografer di RS Pantai Indah Kapuk selama lebih dari 5 tahun, seharusnya saya menentukan pilihan untuk hidup yang lebih baik, demi untuk masa depan saya dan cita – cita serta impian saya pribadi maupun untuk keluarga khususnya bersama suami.

Secara pribadi kami sudah cukup bersyukur dengan kasih Tuhan yang begitu baik pada hidup kami. Suami yang luar biasa baik, setia, penyayang dan mampu mempercayaiku sebelum aku percaya diri sendiri adalah karunia Tuhan yang luar biasa bagi saya pribadi. Sebuah rumah yang cukup luas dengan desain interior yang berkarakter sesuai dengan keinginan kami, tropis minimalis yang dibangun pada luas tanah 300 meter persegi dengan luas bangunan 200 meter persegi dan terletak di tempat stategis di pusat kota Yogyakarta merupakan hadiah yang Tuhan limpahkan bagi kami berdua. Kehidupan rumah tangga yang kami jalankan dengan sistem long distance relationship adalah seni tersendiri yang dengan sadar dan penuh kepercayaan satu sama lain yang telah kami pilih dan kami sepakati untuk sebuah mimpi kami yang kami percaya akan terwujud kelak dengan sebuah keyakinan yang tinggi, usaha yang maksimal, kepercayaan yang solid dan dengan kepasrahan yang penuh.

Akhirnya selama Desember 2012 saya pribadi melamar beberapa RS Swasta di Indonesia dan beberapa Perusahaan Asing Dunia untuk mencari peruntungan disana. Gayung pun bersambut. Beberapa tawaran sudah mulai berdatangan, banyak proses yang saya jalankan pada Januari hingga Februari 2013 dan saya harus memutuskan mana jawaban yang sesuai dengan hasrat pribadi saya dan Tuhan restui. Itu saat tersulit, terberat dan tergalau yang saya lalui. Hingga suatu saat di hari Minggu tanggal 17 Februari 2013, saya mengecek email dan di situ ada tawaran kesempatan pekerjaan yang sesuai dengan hasrat saya dari salah satu perusahaan asing Amerika terbesar di dunia, dan luar biasanya langsung General Manager-nya Southeast Asia yang berpusat di Singapore berniat untuk bertemu saya di Jakarta.

Ini merupakan sinyal yang positif bagiku, tentu saja saya jawab Yes, I do! Kamis 20 Februari, akhirnya saya bertemu dengan beliau di JW Marriot Hotel di Jakarta, sudah bisa di pastikan saya betul – betul nervous. Tetapi jika saya tidak jemput kesempatan ini, maka belum tentu ada kesempatan ini datang untuk kedua kali, setidaknya saya berani untuk melangkah. Interview selama kurang lebih satu jam di lantai 29 gedung tersebut, dan hanya 4 mata sungguh merupakan pengalaman pertama bagi saya untuk ‘menjual’ siapa saya dan bagaimana saya tentu dengan English language sangat berkesan. Dan interview itu berakhir dengan hal yang baik.

Semua berjalan baik, 4 Maret saya mendapat direct interview by phone dari Singapore oleh HRD Southeast Asia-nya. 21 Februari saya mendapat email kembali dari General Manager-nya untuk bertemu dengan team mereka dan lokal HRD (Indonesia) pada tanggal 28 Maret 2013. Finally, 3 April 2013 saya mendapatkan telepon bahwa saya adalah orang yang layak sebagai salah satu Profesional Band di Company tersebut dan di minta tanggal 5 April-nya untuk tanda tangan the agreement letter. Syukur kepada Allah! Increasing salary, benefit yang hampir membuat saya pingsan dan global community (dalam lingkup ASEAN) adalah impian saya. 13 Mei mendatang dengan perkenan Tuhan tentunya, saya resmi bergabung. Terima kasih Tuhan.

Radiologi RS PIK adalah salah satu bagian terbaik dalam periode hidup saya. Saya menjadi seperti yang sekarang salah satunya adalah karena RS PIK. RS PIK juga merupakan jawaban doa – doa saya terdahulu, dan saya tidak akan pernah melupakan hal ini. Saya belajar, berjuang, berfikir dan merenung atas hal ini. 8 Mei mendatang, adalah hari terakhir saya bergabung bersama RS PIK. Kebanggaan tersendiri, saya pernah menjadi bagian dari komunitas pelayanan rumah sakit tersebut sebagai radiografer.

Demi mimpi, cita, tujuan dan cinta kami berdua! Saya siap melangkah dalam hidup baru yang tentu akan berbeda, lebih luas, lebih kompleks dan merasakan menjadi salah satu dari masyarakat dunia yang berbudaya.

Saat hobby digabungkan dalam pekerjaan, adalah jawaban dari salah satu doa terbaik yang diwujudkan Sang Pencipta. Sekarang saya belajar, jika kita ingin bermimpi, jangan pernah bermimpi hanya ‘setengah – setengah’, karena saat Tuhan menjawab doa kita itu, kita akan sangat menyesal… mengapa hanya setengah – setengah mimpi ini yang terkabul??? Lha wong kita bermimpinya cuma setengah – setengah kok minta penuh 🙂

Salam SEMANGAT!!!

Tuhan itu baik, sungguh baik dan tidak terbantahkan kebaikan – Nya!

 

Gili’s Island …. Akhirnya Kami Menemukanmu


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Jika seseorang mencintai sebuah petualangan, maka dia tidak akan pernah berhenti untuk melangkahkan kakinya ke tempat baru yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Demikian juga dengan kami, bukan sekedar berpetualangan saja, tetapi merupakan sebuah ritual perjalanan cinta yang tidak mampu kali lepaskan.

Bali… Sebuah pulau yang kami puja, kami cintai dan kami inginkan, di setiap tahun pada tujuan ‘liburan cinta’ kami, wajib kami pasti akan ‘memeluk’ Bali. Pagi itu 9 January 2013, cuaca Yogyakarta sangat nyaman. Tujuan kami penerbangan ke ‘Ngurah Rai International’ Airport, untuk melepaskan kerinduan kami pada pulau yang sungguh kami cintai. Udara sejuk menyambut kami, begitu kami tiba di Bali. Dan segera kami menuju Lombok via Padang Bai.

Sore di pelabuhan Lembar, dengan cuaca yang sangat nyaman menyambut kami sampai di Pulau Lombok. Segera kami menuju Pantai Senggigi, dimana lebih kurang 2 tahun yang lalu (February 2011) kami pernah mengunjungi Senggigi. Di tempat dan hotel yang sama yang pernah kami datangi, di sanalah kami menginap, sambil mempersiapkan segala keperluan kami untuk menyapa Gili’s Island 😀

Tepat 10 January kami menuju pelabuhan Bangsal, melewati sepanjang pesisir keindahan laut Lombok yang luar biasa biru. Sungguh pemandangan yang luar biasa, yang boleh kami nikmati dengan penuh syukur. Kami menemukan beberapa spot yang luar biasa sepanjang perjalanan ini, salah satunya di Pantai Malimbu. Luar biasa indahnya dan sayang untuk di lewatkan. Lombok menyimpan pesonanya yang luar biasa.

Ternyata kami harus melalui pelabuhan Umbak Belek untuk menuju Gili Meno yang adalah tujuan kami yang pertama di Gili’s Island. Gili Meno sungguh luar biasa indah, tenang, ramah dan sunyi. Cocok bagi pasangan muda yang ingin menghabiskan bulan madu yang romantis. Mengelilingi seluruh pulau hanya menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam. Dan sepanjang perjalanan, kami dimanjakan dengan pemandangan laut biru yang jernih dan terbentang luas. Kami bisa melihat Gili Trawangan dari sisi Barat dan Gili Air dari sisi Timur. Tuhan sungguh baik, kami boleh mencicipi keindahan ciptaan-Nya yang luar biasa ini.

Kami juga berkesempatan tinggal di Gili Trawangan, dan Gili Air. Dan juga kami melakukan snorkeling di beberapa spot yang indah pada perairan di sekitar ketiga Gili tersebut. Luar biasa fantastisnya perjalanan kami. Sungguh Tuhan teramat baik bagi kami. Kami mendapatkan banyak sekali pengalaman, teman dan tentunya kenikmatan dalam perjalanan cinta kami.

Setelah puas mendatangi Gili’s Island, kami putuskan langsung menuju Bali. Bali, kembali kami melakukan ziarah cinta kami dengan melakukan Kebaktian Minggu di GKPB Jemaat Efrata Buduk di Badung, tempat dimana kami hampir 2 tahun yang lalu (31 January 2011) mengikrarkan janji sehidup semati dihadapan Tuhan dan jemaat pada saat itu. Sungguh kebersamaan yang luar biasa indah dan syahdunya.

Masih banyak hal yang telah kami lakukan untuk lebih mengenal dan mencintai lebih dalam masing – masing kami. Kebersamaan yang ada pada kami terkhusus di tempat yang kami cintai dan kami inginkan, adalah hadiah yang luar biasa dari Tuhan bagi kami.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Penuh syukur kami panjatkan pada-Mu! Terima kasih untuk pernikahan yang indah ini.

Kasih-Mu Tuhan, sungguh luar biasa, dan itu tidak terbantahkan!

Previous Older Entries